Oleh Agus Rianto
Tahun
2018 ini dan tahun 2019 mendatang oleh masyarakat lebih terkenal
disebut sebagai 'Tahun Politik', karena di tahun 2018 ini akan diadakan
Pilkada serentak di berbagai wilayah tanah air kita. Lalu tahun 2019
mendatang akan diadakan Pilpres di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk
Pilkada serentak sendiri sudah diadakan berbagai persiapan, bahkan
saat ini sudah masuk tahap kampanye yang mana para calon-calon kepala
daerah sudah menyampaikan program-programnya pada masyarakat untuk
mencari suara pilihan masyarakat.
Dalam
hal ini, umat Islam sebagai umat yang mayoritas di Indonesia tidak
lepas pula peranannya dalam memberikan suara dalam Pilkada atau dalam
Pilpres kelak terhadap calon yang dipilihnya. Suara umat Islam tentu
akan berpengaruh besar dalam menentukan siapa yang akan menjadi Kepala
Daerah di sebuah daerah dan siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia
pada tahun 2019 nanti.
Posisi Masjid
Berbicara
soal umat Islam tidak bisa lepas dari membicarakan peran masjid,
karena masjid merupakan tempat berkumpulnya umat Islam untuk beribadah
kepada Allah SWT. Tentu para jamaah menjelang Pilkada serentak di tahun
2018 ini dan Pilpres di tahun 2019 mendatangm juga akan
berbincang-bincang masalah ini dengan sesama jamaah. Tiap jamaah masjid
mempunyai pilihan calon masing-masing dalam Pilkada dan Pilpres nanti.
Mungkin
ada yang bertanya, apakah boleh sebuah masjid dijadikan ajang politik
praktis dengan mengkampanyekan salah satu calon dalam Pilkada dan
Pilpres pada para jamaahnya? Atau bolehkan masjid diisi ceramah yang
cenderung menjelekkan seseorang atau suatu golongan?
Menjawab
pertanyaan di atas, harus dilihat dulu bagaimana sebenarnya posisi
masjid dalam kehidupan umat Islam. Pada dasarnya masjid itu posisinya
netral. Masjid itu milik semua jamaah, tanpa memandang latar belakang
jamaahnya, tidak memandang etnis, daerah asal si jamaah, aspirasi
politik jamaahnya dan sebagainya.
Kalau
posisinya seperti itu berarti masjid tidak boleh dijadikan ajang
politik praktis dan ikut mengkampanyekan salah satu calon Pilkada dan
Pilpres pada jamaahnya, apalagi diisi ceramah yang cenderung
menjelek-jelekan seseorang atau suatu golongan, karena kalau sudah
berbuat seperti itu berarti masjid sudah tidak netral lagi.
Kalau
masjid sudah tidak netral, maka bisa terjadi perpecahan di kalangan
jamaah dan bisa terjadi kubu-kubuan. Kalau sudah terjadi seperti ini,
maka suasana ibadah tidak akan nyaman lagi. Biarkanlah jamaah memilih
sendiri-sendiri calon kepala daerah atau calon presiden yang
disukainya, jangan didikte harus memilih salah satu calon yang disukai
pihak masjid. Jamaah mempunyai hak demokrasi dan kebebasan dalam memilih
pemimpin daerah atau negara.
Pendapat Penulis
di atas senada dengan pernyataan dari Husni Mubarak Amir, koordinator
FSTM (Forum Silaturahim Takmir Masjid) se-Jakarta yang mengatakan, bahwa
masjid adalah tempat ibadah dan berdakwah yang mengajak pada perdamaian
dan tidak menyebar kebencian, apalagi sampai mengarah pada ajakan
untuk memilih calon-calon tertentu.
Oleh
karena itu, takmir harus selektif dalam memilih penceramah atau pengisi
kegiatan di masjid. Penceramah harus memiliki pemahaman tentang Islam rahmatan lil alamin yang mengajak perdamaian untuk seluruh golongan dan tidak mengkotak-kotakan golongan tertentu.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, seyogianya masjid harus bersikap netral dalam
ajang Pilkada dan Pilpres nanti. Masjid jangan dijadikan ajang kampanye
atau politik praktis, apalagi menjelek-jelekkan suatu pihak, karena hal
itu akan merusak kerukunan antarjamaah.
Penulis adalah Pengamat Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta (UNS)
SUMBER
: http://www.nu.or.id