TUJUAN NU

BERLAKUNYA AJARAN ISLAM YANG MENGANUT FAHAM AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH UNTUK TERWUJUDNYA TATANAN MASYARAKAT YANG BERKEADILAN DEMI KEMASLAHATAN, KESEJAHTERAAN UMAT DAN DEMI TERCIPTANYA RAHMAT BAGI SEMESTA (PASAL 8 ANGGARAN DASAR NU)

PIMPINAN NU DARUNGAN MASA KHIDMAT 2023-2028

RAIS SYURIYAH: Ust. ABD. ROZAQ (PAKEMAN) dan KETUA TANFIDZIYAH: Ust. ABU HASAN TOYIB (LORKALI)

Senin, 01 Februari 2021

Nasab Ilmu KH. R. Syamsul Arifin & KH. R. As’ad Syamsul Arifin



Oleh Abdul Moqsith Ghazali 


KH.R. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990 M.) adalah putra pertama dari pasangan KH.R. Syamsul Arifin (1841–1951 M.) dan Nyai Hj Siti Maimunah binti KH Muhammad Yasin, masih ada hubungan keluarga dengan Syaikhuna Kholil Bangkalan (1820-1925 M.).

Tak ada naskah memadai yang menjelaskan sosok Nyai Maimunah ini kecuali disebutkan sebagian sumber bahwa pernikahan Kiai Syamsul Arifin dan Nyai Maimunah berlangsung di Mekah pada tahun 1890 M.

KH R. Syamsul Arifin sendiri lahir dari pasangan Kiai Ruham dan Nyai Nur Sari. Jika nasab Kiai Ruham bersambung hingga ke Sunan Ampel, maka Nyai Nur Sari disebut dalam sejumlah buku sebagai keturunan Raja Sumenep ke-29, Bendoro Saud, yang memerintah dari tahun 1750 M. hingga 1762 M. 

Bendoro Saud kerap ditulis sebagai anak keturunan Pangeran Katandur (Sayyid Ahmad Baidhawi), salah seorang cucu Sunan Kudus. Kuburan Pangeran Katandur terletak di desa Bangkal, dua kilometer dari kota Sumenep. Hingga sekarang banyak peziarah yang datang, baik ke makam Bendoro Saud (di Asta Tinggi) maupun ke makam Pangeran Katandur, untuk kepentingan tabarrukan dan penelitian.

Kiai As’ad lahir di Mekah ketika Kiai Syamsul Arifin studi di sana. Dan Kiai Syamsul Arifin telah menghabiskan 40 tahun dari 110 tahun usianya di Mekah. Di Mekah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten (1813-1897 M.) yang 24 karyanya banyak dibaca di pesantren-pesatren Jawa dan Madura. Kiai Syamsul Arifin juga sempat belajar pada Sayyid Abi Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi (1849-1892 M./ 1226-1310 H.) pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan Kifayah al-Atqiya’, dua kitab yang juga banyak dikaji di pesantren.

Sayang sekali Sayyid Abi Bakar Syatha tak memiliki umur pajang. Beliau wafat dalam usia 43 tahun. Namun, sebelum wafat, Sayyid Abi Bakar Syatha masih sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (1816-1886 M.), pengarang kitab yang sangat masyhur di Nusantara, syarah al-Ajurumiyah. Tak hanya Sayyid Abi Bakar, rupanya Syaikh Nawawi Banten dan Kiai Mahfudh Termas (1868-1920 M.) juga berguru kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Tak tertutup kemungkinan Kiai Syamsul Arifin yang saat itu juga sedang studi di Mekah sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.

Setelah puluhan tahun berada di Mekah, Kiai Syamsul Arifin bersama keluarganya termasuk Kiai As’ad yang masih kecil pulang ke tanah air, Nusantara. Ketika Kiai Syamsul Arifin mengembangkan Pesantren Sukorejo yang dirintisnya sejak tahun 1914 dan setelah Kiai As’ad muda malang melintang dari satu pesantren ke pesantren lain, maka Kiai As’ad yang sudah memasuki usia remaja itu dikirim kembali ke Mekah. Di sana Kiai As’ad belajar pada banyak ulama kelas dunia.

Pertama, Kiai As’ad belajar pada Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz al-Maliki (1868-1934 M./ 1285-1934 H.) yang juga berguru pada al-Sayyid Abi Bakar Muhammad Syatha. Nanti anak keturunan Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz ini menjadi guru banyak ulama nusantara.

Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz punya anak bernama Sayyid Alawi ibn Abbas al-Maliki (1910-1971 M. / 1328-1391 H.), berputra Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas (1948-2004 M./1367-1425) dan Sayyid Abbas ibn Alawi al-Maliki (1948-2015 M./ 1367-1436 H.). Sebelum wafat tahun 2004, KH.R Achmad Azaim Ibrahimy, Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo (periode 2012-sekarang), sempat berguru pada Sayyid Muhammad ibn Alawi.

Kedua, Kiai As’ad berguru pada Sayyid Hasan ibn Sa’id (1894-1971 M./ 1312-1391 H.). Ayah beliau, Sayyid Sa’id ibn Muhammad ibn Ahmad Yamani, adalah guru Kiai Syamsul Arifin. Sayyid Hasan ini pengajar tetap di Masjidil Haram dan pernah mengajar di Madrasah Shaulatiyah tahun 1904 M/1322 H.–1907 M./1325 H. Murid-muridnya datang dari berbagai negara, mulai dari Mekah hingga Malaysia dan Indonesia. 

Bahkan, Sayyid Hasan ibn Sa’id pernah berkunjung ke Indonesia sebanyak dua kali. (a). Tahun 1925 M./1344 H.  dan kembali ke Mekah tahun 1926 M./1345 H. (b.) Tahun 1930 M./1349 H. dan kembali ke Mekah 1937 M./1356 H. Bahkan, beliau tercatat pernah menjadi mufti di Terengganu Malaysia ketika beliau beberapa tahun menetap di sana dan wafat di Mekah tahun 1391 H./1971 M. Dikuburkan di Ma’la (Mu’alla?) Mekah.

Ketiga, Kiai As’ad juga berguru pada Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin al-Kutby (1909-1984 M./ 1327-1404 H.). Nama lengkapnya, al-Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Husain al-Kutby al-Hasani al-Hanafi. Beliau adalah ulama bermadzhab Hanafi yang mengajar secara reguler di Masjidil Haram, Madrasah al-Falah, Ma’had I’dad al-Mu’allimin. Ia menulis sejumlah buku. 

Salah satu karya Sayyid Muhammad Amin Kutbi yang saya koleksi adalah Nafhu al-Thiib fi Nafhi al-Habib SAW, buku yang berisi pujian dan kekaguman penulisnya pada Nabi SAW. Ditulis dalam bentuk puisi dengan diksi yang indah.

Keempat, Kiai As’ad juga berguru pada Syaikh Hasan ibn Muhammad ibn Abbas ibn Ali ibn Abdul Wahid ibn al-Abbas al-Munafi al-Masysyath (1899-1979 M./1317-1399 H.). Ia adalah ulama berpengaruh (al-ustadz al-mu’atstsir) di masanya. Dikenal sebagai al-muhaddits (ahli hadits) al-faqih (ahli fikih) al-Maliki (bermadzhab Maliki). Ia menulis 17 kitab di berbagai bidang. Ia misalnya menulis al-Tuhfah al-Saniyah fi Ahwal al-Waratsah al-Arba’iniyyah, Ta’liqat Syarifah ‘ala Lubbi al-Ushul, Inarah al-Duja fi Maghazi Khairi al-Wara, Bughyah al-Mustarsyidin bi Tarjamah al-A’immah al-Mujtahidin. 

Ia memiliki banyak murid dari berbagai negara, mulai dari Yaman hingga Indonesia. Salah satu murid Syaikh Hasan Masysyath yang dari Yaman adalah Syaikh Ismail Zain (1933-1994 M./1352-1414 H.) yang kemudian menjadi guru dari salah seorang putra Kiai As’ad Syamsul Arifin, yaitu KH.R. Mohammad Kholil As’ad (1970-sekarang)--Pendiri dan Pengasuh PP Walisongo Situbondo Jawa Timur.

Melalui narasi di atas, kita tahu (a). Berguru tak harus pada orang yang lebih tua dari segi usia. Dua guru Kiai As’ad yang terakhir itu, Sayyid Muhammad Amin dan Syaikh Hasan Masysyath, memang lebih muda dari Kiai As’ad. Namun, sebagaimana kiai lain, dalam mencari ilmu Kiai As’ad tak memandang usia. Tak masalah berguru pada yang lebih muda karena kealiman memang tak terkait dengan usia. Kiai Syamsul Arifin juga berguru pada Sayyid Abi Bakar Syatha yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda dari dirinya.

(b). Seperti dalam tradisi akademik lama, dalam mencari ilmu, para murid boleh berguru pada para ulama lintas madzhab, tak hanya pada ulama dari madzhab fikih tertentu saja seperti madzhab Syafi'i melainkan juga dari madzhab fikih lain seperti Hanafi dan Maliki. Mungkin karena itu, para ulama dulu dan para kiai kita termasuk Kiai Syamsul Arifin dan Kiai As'ad rata-rata memiliki pengetahuan fikih lintas madzhab yang lebih dari cukup. 

Dan itu dalam konteks sekarang saya kira berguna terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus fikih kontemporer yang tak cukup hanya diatasi dengan satu qaul-madzhab, iltizam bi madzhabin mu'ayyan, melainkan juga harus mempertimbangkan qaul atau pendapat dari madzhab lain dengan konsekuensi iltizam bi madzhabin ghairi mu'ayyan. 

Akhirnya, lepas dari itu semua, ingin saya katakan; sungguh beruntung para pelajar Islam yang studi di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur karena sanad ilmu mereka melalui KH. R. Syamsul Arifin dan KH. R. As’ad Syamsul Arifin adalah sanad yang tinggi, lewat jalur ulama-ulama besar terhubung hingga ke Rasulullah SAW.

Semoga berkah dan manfaat. Nafa'ana Allah bi 'ulumihima wa afadha 'alaina min barakatihima, Aaamiin.


Ahad, 31 Januari 2021