Kepemimpinan di NU itu sangat unik, tidak bisa ditebak. Mari perhatikan perjalanannya:
- Saat Kiai Wahab sudah sepuh
para Muktamirin memilih KH Bisri Syansuri, namun beliau mengundurkan diri
dan tidak mau menjadi Rais Am selama Kiai Wahab masih sugeng (hidup).
- Pada Muktamar 27 di Situbondo
sebenarnya para kiai sepuh sudah saling tunjuk antara Kiai As'ad, Kiai
Mahrus dan lainnya. Semua saling menolak sambil bercanda dengan
membawa-bawa Malaikat segala.
Para kiai sudah menghendaki Kiai Sahal Mahfudz sebagai Rais Am, tetapi Kiai
As'ad lebih condong kepada Kiai Ahmad Siddiq, akhirnya beliau terpilih bersama
Gus Dur.
- Muktamar di Cipasung 1994 yang
paling 'menegangkan', lagi-lagi Kiai Sahal digadang-gadang menjadi Rais
Am, tapi beliau mengalah dan mendahulukan Kiai Ilyas Ruhiyat menjadi Rais
Am. Baru pada Muktamar NU di Lirboyo, 1999, para kiai aklamasi memilih
Kiai Sahal.
- Muktamar di Jombang menggunakan
sistem baru, yaitu AHWA (Ahlul Halli wal Aqdi) yang terdiri dari para kiai
sepuh berwenang menunjuk Rais Am. Saya mendengar sendiri dari Syuriah PWNU
Jatim bahwa dari sistem AHWA ini yang dikehendaki menjadi Rais Am adalah
KH Maimun Zubair. Saat AHWA berkumpul justru Kiai Maimun tidak berkenan.
Akhirnya disepakati Kiai Mustofa Bisri dan wakilnya KH Ma'ruf Amin.
Di luar dugaan Gus Mus mengajukan surat pengunduran diri. Kiai Ma'ruf Amin
mau tidak mau harus mau. Sebab kalau beliau ikut mundur maka terjadi kekosongan
di organisasi Ahlusunah wal Jamaah terbesar di dunia ini.
Beliau kemudian bercanda: "Saya ini Rais Am min Haitsu La
Yahtasib", terpilih karena diluar dugaan.
- Tahun 2015 Kiai Miftah sedang
menjadi Rais Syuriah PWNU Jatim. Utusan Kiai Ma'ruf Amin datang agar Kiai
Miftah menjadi Wakil Rais Am. Kiai Miftah menolak. Sampai pada akhirnya
Kiai Ma'ruf Amin akan mundur jika Kiai Miftah terus menolak. Akhirnya Kiai
Miftah menjadi Wakil Rais Am.
Ketika Kiai Ma'ruf Amin "dipinang" menjadi Wapres, Kiai Miftah
sudah tidak keluaran rumah, beliau lebih banyak berdiam diri di pondok kawasan
Kedungtarukan Surabaya ini. Kiai Miftah tidak berkenan menjadi Pejabat Rais Am
sampai Muktamar berikutnya.
Namun karena peraturan organisasi mengharuskan, apalagi ada dawuh dari Kiai
Maimun Zubair dan Kiai Nawawi Sidogiri, maka Kiai Miftah tidak bisa mengelak.
Beliau sering dawuh: "Saya menjadi Rais Am ini karena Dharuri bi
Syabkah", darurat karena peraturan organisasi.
Para Kiai itu memiliki
keluasan hati dan pikiran, kita saja yang selalu tegang kurang candaan karena
terbawa situasi serba online.
(Makruf Khozin)
repost.