Oleh: KH. Agus Sunyoto
TKR pertama, Yang nanti menjadi TNI.
Dan komandan divisi pertama TKR itu bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh
pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga masih Kyai, yakni kolonel K.H.
Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya). Sampai tingkat resimen Kyai juga yang memimpin.
Fakta, resimen 17 dipimpin oleh
Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus
Anis. Di batalyon pun banyak komandan Kyai. Komandan batalyon TKR Malang
misalnya, dipimpin Mayor KH. Iskandar Sulaiman yang saat itu menjabat Rais
Suriyah NU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional, ada Sekretariat Negara
dan TNI.
Tapi semua data itu tidak ada di buku
bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran Kyai. KH. Hasyim Asy'ari yang
ditetapkan pahlawan oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi jasa para Kyai dan
santri memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik
Indonesia ini.
Waktu itu, Indonesia baru berdiri.
Tidak ada duit untuk bayar tentara. Hanya para Kyai dengan santri-santri yang
menjadi tentara dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Hanya para
Kyai, dengan tentara-tentara Hizbulloh yang mau korban nyawa tanpa dibayar.
Sampai sekarang pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, ya gak
dibayar. Wkwkwk
Tentara itu baru menerima bayaran
pada tahun 1950. Selama perjuangan 45 sampai di tahun 50-an itu, tidak ada
tentara yang dibayar negara.
Kalau mau mikir, 10 November Surabaya
adalah peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran
besar yg terjadi setelah perang dunia selesai 15 Agustus.
Sebelum pertempuran 10 November,
ternyata ada perang 4 hari di Surabaya. Tanggal 26, 27, 28, 29 oktober 1945.
Kok ‘ujug-ujug’ muncul perang 4 hari ceritanya gimana? Jawabnya: Karena sebelum
tanggal 26 Oktober, Surabaya bergolak, setelah ada fatwa resolusi jihad PBNU
pada tanggal 22 Oktober. Kini diperingati sebagai Hari Santri.
Tentara Inggris sendiri aslinya tidak
pernah berfikir akan perang dan bertempur dg penduduk Surabaya. Perang sdh
selesai kok, Begitu pikirnya. Tapi karena masarakat Surabaya terpengaruh fatwa
dan resolusi jihad, mereka nyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di
Surabaya. Sejarah inilah yang selama ini ditutupi.
Jika resolusi jihad ditutupi, orang
yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menyebut tentara Inggris ‘ora
waras’. Ngapain Ngebomi kota Surabaya tanpa sebab? Tapi kalau melihat rangkaian
dari resolusi jihad, baru masuk akal; “Oya, mereka marah karena jenderal dan
pasukannya dibunuh arek-arek Bonek Suroboyo”.
Fatwa Jihad muncul krn Presiden Soekarno
meminta fatwa kepada PBNU: apa yg harus dilakukan warga Negara Indonesia kalau
diserang musuh mengingat Belanda ingin kembali menguasai. Bung Karno juga
menyatakan bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia. Sejak
diproklamasikan 17 Agustus, tidak ada satupun negara di dunia yang mau
mengakui.
Oleh dunia, Indonesia diberitakan
sebagai Negara boneka bikinan Jepang. Bukan atas kehendak rakyat. Artinya,
Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat. Fatwa dan Resolusi
Jihad lalu dimunculkan oleh PBNU. Gara-gara itu, Inggris yang mau datang 25
Oktober tidak diperbolehkan masuk Surabaya karena penduduk Surabaya sudah siap
perang.
Ternyata sore hari, Gubernur Jawa
Timur mempersilakan. “Silahkan Inggris masuk tapi di tempat yang secukupnya
saja”. Ditunjukkanlah beberapa lokasi, kemudian mereka masuk. Tanggal 26
Oktober, ternyata Inggris malah membangun banyak pos-pos pertahanan dengan
karung-karung pasir yang ditumpuk & diisi senapan mesin.
“Lho, ini apa maunya Inggris. Kan
sudah tersiar kabar luas kalau Belanda akan kembali menguasai Indonesia dengan
membonceng tentara Inggris”, begitu kata arek-arek. Pada 26 Oktober sore hari,
pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung
keluar ‘nawur’ pasukan inggris. “Ayo ‘tawur..tawuran..’!”.
Para pelaku mengatakan, itu bukan
perang mas, tp tawuran. Kenapa? Gak ada komandanya, gak ada yg memimpin.
“Pokoke wong krungu jihad.. jihad… Mbah
hasyim.. Mbah hasyim…”. Berduyun-duyun, arek2 Suroboyo sudah keluar rumah semua
dan langsung tawur sambil teriak ‘Allahu Akbar’ dan itu berlangsung 27 Oktober.
Mereka bergerak karena seruan jihad Mbah Hasyim itu disiarkan lewat
langgar-langgar, masjid-masjid, dan spiker-spiker. Pada 28 Oktober, tentara
ikut arus arek2, ikut gelut dengan Inggris. Massa langsung dipimpin tentara.
Dalam pertempuran 28 Oktober ini, 1000 lebih tentara Inggris mati dibunuh.
Tapi tentara tidak mau mengakui,
karena Indonesia meski sudah merdeka, belum ada yang mengakui. Itu jadi urusan
besar tingkat dunia jika ada kabar tentara Indonesia yg bunuh Inggris. Tentara
tidak mau ikut campur. Negara belum ada yang mengakui kok sudah klaim bunuh
tentara Inggris. Itu semua ikhtiyar arek-arek Suroboyo kabeh.
Pada 29 Oktober pertempuran itu masih
terus terjadi. Inggris akhirnya mendatangkan presiden Soekarno dan wakil
presiden Mohammad Hatta utk mendamaikan. Pada 30 Oktober ditandatanganilah
kesepakatan damai tidak saling tembak-menembak. Yang tanda tangan Gubernur
Jatim juga. Sudah damai, tapi massa kampung tidak mau damai.
Pada 30 Oktober, akhirnya Brigadir
Jenderal Mallaby digranat arek-arek Suroboyo. Mati mengenaskan di tangan pemuda
Ansor. Ditembak, mobilnya digranat di Jembatan Merah. Sejarah kematian Mallaby
ini tidak diakui oleh Inggris. Ada yang menyebut Mallaby mati dibunuh secara
licik oleh Indonesia. Aneh, jenderal mati tp disembunyikan sebabnya karena
malu.
Inggris marah betul. Masa negara
kolonial kalah. Mereka malu & bingung. Perang sudah selesai, tapi pasukan
Inggris kok diserang, jenderalnya dibunuh. Apa ini maksudnya? “Kalau sampai
tanggal 9 Nopember jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal
itu orang-orang surabaya masih yang memegang bedil, meriam dst. tidak
menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 Nopember jam 6 pagi
Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara," begitu amuk
jenderal tertinggi Inggris.
Datanglah tujuh kapal perang langsung
ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah diarahkan ke Surabaya.
Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan bangunan. Satu
skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya kala
itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.
Pada 9 November jam setengah empat
sore, Mbah Hasyim yang baru pulang usai Konferensi Masyumi di Jogja sebagai
ketua, mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam Inggris. “Fardhu a'in bagi
semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari Kota Surabaya untuk membela
Kota Surabaya”. 94 kilo itu- jarak dibolehkannya solat qoshor.
Wilayah Sidoarjo, Tulungagung,
Trenggalek,Kediri, wilayah Mataraman, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang
datang semua karena dalam jarak radius 94 kilo. Dari Kediri, Lirboyo ini datang
dipimpin Kyai Mahrus. Seruan Mbah Hasyim langsung disambut luar biasa. Bahkan
Cirebon yang lebih dari 500 kilo datang- ke Surabaya ikut seruan jihad PBNU.
Anak-anak kecil bahkan orang-orang
dari lintas agama juga ikut perang. Orang Konghucu, Kristen, dan Budha semua
ikut jihad. Selain Mallaby, pertempuran di Surabaya menewaskan Brigadir jendral
Loder Saimen. Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, para Kyai, dan santri.
Tapi lihat, apa yg dilakukan pemerintah di kemudian hari kepada para Kyai ini?
Dimanipulasi.
Jangan cuma di baca doank, tapi bantu
membagikan yah biar negara tahu dan paham.
Demikian kultweet #dutaislamcom dari
KH. Agus Sunyoto saat menghadiri bedah buku "Fatwa dan Resolusi
Jihad" di Pondok Lirboyo 3 November 2017.
Sejarah Ulama
#menolaklupa
tulisan ini telah di publis di https://jakartasatu.com/2021/10/04/jas-hijau-yg-hilang-di-orde-baru/
Repost