KH Abdurahim Mustafa (kedua dari kiri) dipapah Ketua LAZISNU PBNU Syamsul Huda |
Pengeras suara dari panitia memberitahukan peserta agar bersiap melakukan agenda utama, Rapat Pleno PBNU di Pesantren Kempek, Cirebon Ahad (24/7). Tentu saja ruangan utama dan ruang sidang masih kosong. Masih kosong. Peserta masih beristirahat selepas pembukaan dari pukul 09.30 sampai waktu dhuhur. Lagi pula rapat masih setengah jam lagi. Belum ada tanda-tanda peserta yang datang.
Tapi dari salah satu ruangan kelas yang disulap jadi penginapan, seorang pria bertongkat berjalan tertatih-tatih. Langkah kakinya dieja sebagaimana seorang anak yang belajar berjalan. Sekurangnya butuh dua detik untuk satu langkah. Langkah pendek tentu saja.
Ia menceritakan, bahwa tubuhnya menjadi ringkih karena peristiwa dua tahun lalu. Suatu malam, sekitar pukul dua, ia terbangun dan duduk di kursi tengah rumahnya. Entah sebab apa, tubuhnya tiba-tiba terlempar sampai mengenai langit-langit. Kemudian jatuh tersungkur ke lantai. Peristiwa itu tak ayal lagi mengirimnya ke rumah sakit tulang.
Dia Abdurahim Musthafa, salah seorang Mustasyar PBNU asal Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia berbatik panjang, bercelana panjang dan berpeci hitam. Usianya 82 tahun.
Ah, kenapa beliau jauh-jauh datang ke Cirebon? Bukankah perjalanan dari Kupang begitu melelahkan? Ia harus naik mobil, ke bandara, naik pesawat, naik taksi ke PBNU, lalu naik bus ke Cirebon. Dan di rapat Pleno ini, antara tempat dengan toilet tidak dekat. Bukankah lebih baik ia di rumah saja, duduk di kursi, nonton tivi, atau bercanda dengan cucu-cucunya?
Rentetan pertanyaan itu saya ajukan kepadanya. Semula saya menduga akan mendengar jawaban yang heroik. Misalnya, “saya ingin memberi teladan kepada anak muda bahwa semangat organisasi tidak padam meski usia telah tua.” Atau jawaban, “saya ingin berkhidmah di NU sampai akhir hayat.”
Saya kecele. Tak dapat jawaban seperti itu.
“Justru itu pertanyaan saya kepada saya sendiri,” jawabnya. Dia juga heran kepada dirinya mau datang ke Cirebon. Toh kalaupun dia tidak datang, PBNU pasti akan memakluminya.
Lalu saya beralih dengan pertanyaan lain. “Sebetulnya, apa yang didapat dari NU sehingga Pak Kiai bisa seperti ini?”
Ternyata pertanyaan ini membuat bola matanya berkaca-kaca. “Banyak yang NU berikan kepada saya.” katanya.
“Apa itu, Kiai?” tanya saya. Mungkin jawabannya jabatan, uang, fasilitas, dan kehormatan. Ternyata juga bukan.
Menurut dia, NU telah memberinya ketenangan bahwa ada organisasi yang membela kebiasaannya berzikir, wiridan selepas shalat. Di Kupang, di keluarga besarnya, selepas Idul Fitri, dia didatangi sanak famili, bersilaturahim, kemudian menabuh rebana. Kebiasaan ini yang ia dapat dan dipertahankan di NU.
Makanya sejak tahun 60-an menjadi Sekretaris PCNU Kupang, ia tak pindah ke lain organisasi. Anak-anaknya pun turut berkhidmah di NU. Semoga sehat dan panjang umur, Kiai
SUMBER : http://www.nu.or.id