By. uia.e-journal.id |
KH. HASYIM ASY’ARI DAN
NAHDLATUL ULAMA:
PERKEMBANGAN AWAL DAN
KONTEMPORER
Oleh:
H. Hartono Margono
Abstrak:
Artikel ini membahas tentang
perkembangan awal dan kontemporer Nahdlatul Ulama (NU). Artikel ini berargumen bahwa
salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia tersebut baik
dalam masa awal berdirinya maupun kontemporer tidak bisa dipisahkan dari sosok
sang pendiri, K.H. Hasyim Asy’ari. NU sendiri merupakan buah pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari tentang Islam Indonesia. Pada akhirnya, pemikiran tentang Islam
Indonesia tersebut banyak memengaruhi sikap keberagamaan Muslim Indonesia dan
tetap relevan hingga sekarang.
Kata Kunci: K.H. Hasyim Asy’ari, NU, Islam
Indonesia.
A.
Pendahuluan
Dalam sejarah Indonesia, sejak masa
pra-Kemerdekaan hingga saat ini, posisi dan peranan ulama cukup penting terhadap proses
perubahan social kemasyarakatan, karena ulama
merupakan tokoh panutan bagi umat Islam yang
merupakan agama terbesar di Indonesia.
Agama pada dasarnya bersifat
independen, yang secara teoretis dan dogmatis saat mungkin terl ibat dal am
kaitan saling mempengaruhi dengan kenyataan sosial, ekonomi dan politik. Sebagai unit yang
independen, maka bagi penganutnya, agama mempunyai
kemungkinan yang tinggi untuk menentukan pola prilaku manusia dan bentuk
struktur social, dengan demikian ajaran agama (aspek kultural dari agama)
mempunyai potensi untuk mendorong atau bahkan menahan proses perubahan sosial
dimana dalama agama Islam yang strategis untuk melakukan hal itu adalah ulama
dan pendidikan (pesantren).[1]
Jika ditelusuri lebih jauh tentang
peranan ulama dalam mewarnai proses perubahan sosial di Indonesia, maka akan
tercatat beberapa tokoh penting dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat,
diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Hasyim Asy’ari merupakan
seorang ulama yang terkemuka dizamannya, karena dia adalah pendiri pondok
pesantren Tebu Ireng dan ikut serta mendorong untuk melakukan perlawanan
terhadap penjajahan, disisilain dia adalah tokoh penting dalam berdirinya Nahdlatul
Ulama yang kelak dalam sejarah Indonesia akan menjadi ormas Islam terbesar dan
memainkan peranan yang cukup signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan
politik di Indonesia.[2]
Berangkat dari pemikiran yang
demikian maka dalam makalah ini penulis akan menyajikan secara singkat tentang
KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama perkembangan awal dan kontemporer, hal
ini tentunya dimaksudkan untuk membedah pemikiran serta pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran modern dalam Islam khususnya di Indonesia.
B.
Biografi KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari atau nama lengkapnya
Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/14
Februari 1871, dan wafat di
Jombang pada Juli 1947.[3]
Secara genealogi, KH. Hasyim
Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang
merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman
adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari
adalah pengasuh pondok pesantren Keras di Jombang.
Dari silsilah ini maka dapat dilihat
bahwa KH. Hasyim Asy’ari lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren.
Bahkan pada usia 13 tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat
menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya.
Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari
mulai mengembara ke berbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama,
seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren
Langitan, Pesantrenn Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan,
Madura.
Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari
berangkat ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dan berguru kepada Syekh
Mahfudh AtTarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At-Tarmisi
menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli hadits di Mekah, beliau
adalah murid Syekh Nawawi Al-Bantany yang menjadi murid Syekh Ahmad Khatib SyamBasi
(tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsabandiah).[4]
Untuk melengkapi pengetahuannya di
bidang agama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib
AlMinangkabau. Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan
pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah
dia memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah.
Setelah 7 tahun belajar di Mekah,
KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di
Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari
mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal
dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kyai
dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di Indonesia.[5]
Adapun pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari di antaranya akan dipaparkan
dalam sub-sub di bawah.
Bidang Pendidikan
Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai
lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak
mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek
normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya
telah mengantarkan umat Islam kepada
zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-Al-Mutta’allim,
KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam
klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.[6]
Namun hingga sekarang pesantren dan NU adalah pilar
tegaknya Islam tradsional, serta menjadi basis
gerakan NU sejak masa perjuangan melawan penjajah hingga zaman sekarang. Sampai
saat ini lembaga pendidikan pesantren masih tetap eksis dan survive dengan
segala kemajuan pembaharuan, seperti pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyyah,
Institut Agama Islam Ibrahimy, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Institut Keislaman
Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Darul Ulum, Akper, dll.
Paham keagamaan
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya
terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab. Inilah pandangannya yang erat kaitannya
dengan sikap beragama mayoritas kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli
sunnah wal jama’ah”. Pemikirannya tentang paham bermazhab ini tertuang dalam
karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian
dijadikan pijakan dasar organisasi NU.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya
untuk memahami ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam
sejarahnya, sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu,
sering terjadi perselisihan pendapat.
Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid).
Namun karena
pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, KH. Hasyim Asy’ari
menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab
(Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi ciri utama paham ahlusunnah
dan NU.[7]
Bidang Teologi
KH. Hasyim Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al-Tauhidiyyah
dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga
tingkat apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang
keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk orang awam). Kedua, pengetahuan
dan teori kepastian adalah bersumber dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama).
Ketiga, menggambarkan dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan
(untuk para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau Ma’rifat).[8]
Bidang Tarikat
Tarikat juga tidak luput dari
perhatian KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar
al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang
bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat.
Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama
ini dijadikan sandaran kaum tarikat.[9]
C.
KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul
Ulama
Kelahiran Nahdlatul Ulama merupakan
respons terhadap munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak di
pengaruhi pemikiran atau faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan Jamaluddin
Al-Afgani dan Muhammad Abduh.
Gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang
kemudian pada 1912 membentuk organisasi Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik
terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional,
seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang
sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional.
Puncak dari pertentangan muslim
“modern” dan muslim “tradisional” ini terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari
kerajaan Saudi Arabia ingin mengadakan kongres tentang kekhalifahan di Mekah
dalam usahanya untuk mendirikan kekhalifahan baru. Hal ini mendapatkan respons
yang positif dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, sehingga diadakanlah kongres
di Bandung yang dihadiri kelompok Islam modernis dan tradisional. Hasil dari
kongres ini menunjuk Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah
(keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres tentang kekhal ifahan di
Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan kelompok Islam tradisional
karena tidak terwakili mengikuti kongres tersebut. Karena itu KH. Wahab Hasbullah
(kelompok tradisional) mengusul kan agar utusan Indonesia meminta kepada
pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar tetap mempertahankan ajaran dan praktik
keagamaan empat mazhab, walaupun permintaan itu ditolak.[10]
Untuk memperjuangkan aspirasi
ulama-ulama tradisional agar dapat bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31
Januari 1926 KH. Wahab Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan
langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat mengirimkan
utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di Arab Saudi, dalam pertemuan
tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:
1.
Mereka secara resmi membentuk komite Hijaz, yang akan mengirimkan
utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.
2.
Membentuk organisasi yang berfungsi sebagai wahana para
ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi tersebut diberi
nama “Nahdlatul Ulama”.[11]
Adapun peranan KH. Hasyim Asy’ari
dalam pembentukan NU ini sangat
penting, karena restu dan legitimasi yang dia berikan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan organisasi NU. Oleh karena itu dia ditunjuk sebagai rais
akbar, sementara ketua tanfiziyah adalah H. Hasan Gipo. Dalam
perkembangan selanjutnya, warna dan corak NU sangat dipengaruhi oleh KH. Hasyim
Asy’ari. Hal ini terlihat dari pidato iftitah yang disampaikannya kepada
warga NU tentang faham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menganut satu dari empat
mazhab yang dijadikan sebagai azas NU. Bahkan muqaddimah NU Qonun Asasy karangan
beliau dijadikan sebagai satu kesatuan yang utuh dari Anggaran Dasar NU.
Banyak kalangan prihatin dengan
semakin terseretnya kyai-kyai dalam pusaran arus politik praktis dewasa ini.
Bahkan Mantan Menteri Agama M Maftuh Basyuni dalam beberapa kesempatan menyerukan
agar kyai kembali ke pesantren sebagaimana militer kembali ke barak.
Meski demikian, banyak kalangan
sepakat dengan gagasan tentang pentingnya kyai kembali ke pesantren. Bukan
karena politik tidak penting, tetapi karena pengembangan pesantren justru akan lebih
menentukan wajah masyarakat dan bangsa di masa depan.
Di sinilah menjadi penting kita
belajar politik kepada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul
Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng Jombang. Kyai Hasyim adalah sosok kyai yang
mampu membangun pesantrennya dan sekaligus tetap mempunyai pengaruh penting
dalam kehidupan politik kenegaraan.
Sampai saat ini, Kyai Hasyim diakui
dan dikenang sebagai ulama besar karena investasi politiknya untuk bangsa,
integritas, serta warisan keilmuan dan kelembagaan yang abadi. KH Hasyim adalah
seorang ulama karismatik yang dihormati masyarakat dan disegani penguasa. Rasa
hormat diberikan karena Kyai Hasyim adalah seorang kyai yang luas dan dalam
pengetahuan agamanya.
Ia seorang ulama dengan pendirian
yang tegas dan mengabdikan hidupnya untuk suatu proses transformasi masyarakat
secara menyeluruh. Ia juga diakui sebagai ulama besar karena keberhasilannya mendidik
santri-santri menjadi tokoh besar di kemudian hari. Seperti ditulis Greg Fealy,
menteri-menteri dari unsur NU di masa Presiden Soekarno dan anggota parlemen
dari Partai NU sebagian besar adalah santri Kyai Hasyim di Tebuireng.
Lebih dari itu, kebesaran Kyai
Hasyim bukan hanya karena ia seorang ulama yang teguh, tetapi juga seorang
patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah mendidik
santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut
kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Kyai Hasyim bukan hanya melawan kolonialisme
dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural.
Karena itu, ia sempat mengharamkan
santri dan masyarakat memakai pakaian yang menjadi kebiasaan kaum penjajah
seperti dasi dan celana. Seperti ditulis Abdurrahman Wahid dalam Bunga
Rampai Pesantren, pada masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial, kyai dan
pesantren secara kultural berfungsi sebagai benteng pertahanan menghadapi
penetrasi kebudayaan luar.
Fungsi yang demikian menghendaki
adanya proses “pemurnian” agama dalam batas-batas tertentu, dimulai dari
penonjolan aspek syara (formalisme hukum agama) di pesantren.
Patriotisme dan nasionalisme Kyai Hasyim juga ditunjukkan ketika ia bersama sejumlah
kyai memelopori Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Resolusi itu berisi seruan kepada
umat Islam untuk membangkitkan perang suci (jihad) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
dengan mengusir tentara Sekutu dan Belanda di belakangnya yang hendak kembali
menjajah Indonesia. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan
Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih.
Dengan demikian, Kyai Hasyim telah
memberi status kepada NKRI sebagai negara yang sah di mata hukum agama (fikih).
Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang haus jabatan.
Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi jabatan oleh
Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya, jabatan
itu ia serahkan kepada putranya, KH. A. Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim hanya menjadi kepala secara dejure.
Demikian juga jabatan sebagai Ketua
Masyumi. Semua urusan politik praktis didelegasikan kepada putranya, sementara
Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia
tidak pernah meninggalkan-apalagi melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai
pesantren.
Kyai Hasyim tidak pernah melarang
kyai dan santri-santrinya berpolitik. Ia sendiri memberi contoh bagaimana
berpolitik. Namun politik Kyai Hasyim adalah politik makrostrategis. Ia
benar-benar melibatkan dirinya dalam urusan politik jika ada situasi darurat
yang mengancam kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan ajaran
agamanya.
Dengan demikian, Kyai Hasyim
melibatkan diri dalam urusan politik untuk jangka waktu tertentu, sementara
urusan politik praktis diserahkan kepada orang lain yang pas di bidang itu.
Ibarat seorang resi yang
hanya turun dari padepokan di atas gunung ketika situasi masyarakat sedang
kacau dan membutuhkannya. Kalau situasi sudah normal, sang resi akan kembali
berkhalwat di padepokannya.
Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya
terjun ke dunia politik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali
ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan
umat.
Keberanian untuk menjaga jarak
dengan politik praktis menjadikannya tidak pernah kehilangan wawasan dan
kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan
alternatif solusi yang lebih diterima masyarakatnya. Benar yang dikatakan
KH A Wahab Chasbullah, seperti dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson
& Lucian W Pye (Eds.), Political Power and Communications in Indonesia,
bahwa Islam dan politik seperti gula dan
manisnya.
Jika seseorang bisa memisahkan gula
dari manisnya, dia akan mampu memisahkan Islam dari politik (if someone is
able to separate sugar from its sweetness,he will be able to separate
Islamic religion from politics). Namun Kyai Hasyim telah mencontohkan
bagaimana cara
berpolitik kyai yang efektif tanpa mengorbankan tugas utamanya sebagai pemimpin
umat.
Dengan demikian, dibutuhkan
kearifan dan kedalaman wawasan sehingga seorang kyai tahu kapan harus terlibat
dalam urusan politik strategis dan kapan harus menarik diri atau menjaga jarak
dengan dunia politik.
Itulah KH. Hasyim Asy’ari. Seorang
kyai besar yang konsisten dan fokus membangun landasan yang kokoh bagi
transformasi masyarakat dan bangsa secara luas. Suatu sikap yang mungkin sulit untuk
diikuti secara konsisten saat ini, kecuali bagi mereka yang ikhlas dan
sungguh-sungguh.
D.
NU dari Awal Perkembangan hingga
Kontemporer
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada
1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam
yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi)
ajaran Islam.
Organisasi Muhammadiyah—didirikan
di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan—yang kemudian gerakannya dianggap cenderung
berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat
lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect) yang mempercepat
lahirnya NU.
Ditambah lagi pada saat itu gerakan
pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin
Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan
membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni
akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus
khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.[12]
Di balik sikap reaktif itu, sebenarnya
para ulama Sunni Indonesia memiliki misi mempertahankan budaya pluralisme
kebangsaan yang membumi. Pertama, pada tingkat lokal, para ulama
NU tidak ingin membenturkan ajaran Islam dengan kebiasaan beragama masyarakat setempat.
Tepatnya, para ulama NU berupaya selalu mengharmoniskan hubungan antara pengamalan
agama dan praktik budaya lokal. Kedua, secara
universal, para ulama NU berupaya memperkenalkan
dan menghendaki penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan yang eksis di dal am
masyarakat dunia, dengan menunjukkan toleransi dan pembelaannya terhadap upaya
atau keinginan untuk menghilangkan kebiasaan. Terlebih hal itu, oleh pihak NU,
secara prinsip ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kalaupun dianggap bertentangan, maka merupakan konsekuensi dari keberagamaan
yang memang sudah ada, yakni masing-masing tentu saja memiliki pembenaran atau
argument teologis.[13]
Dalam kerangka seperti itulah NU
berdiri dan eksis sebagai pengayom kepentingan semua kekuatan dengan gerakan
yang berorientasi kerakyatan. Infrastrukturnya sejak awal dibangun di atas tiga
pilar utama, semangat kebangsaan (nahdlatul wathan), semangat atau
kebangkitan ekonomi (nahdl atul
tujjar), dan gerakan pengembangan
pemikiran (taswirul afkar)—Islam berbasis kultural di Indonesia.
Dalam perjalanannya, karena watak
reaktif itu pula NU kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait
dengan agenda politik praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi
dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat
pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya
basis massa politik yang riil yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar
kuat.[14]
Barangkali juga ada anggapan,
“daripada basis massa dimanfaatkan oleh pihak lain, lebih baik untuk kepentingan
politik dan ekonomi kalangan internal NU sendiri”. Makanya, tidak heran kalau
perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang sebenarnya
merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri.
Pada rentang 1945–1952 NU tergabung
dalam Partai Masyumi. Melalui
muktamar di Palembang pada 1952, NU mendirikan parpol sendiri, yakni Partai NU dan ikut Pemilu 1955. Pada 1971,
oleh pemerintah Orde Baru Partai NU dengan
paksa digabung (fusi) di dalam PPP,hingga kemudian menyatakan diri lepas dari
politik praktis melalui Muktamar NU di Situbondo 1984. Mulai saat itulah NU di
bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan kembali ke Khittah
1926, yang pada dasarnya mereposisi NU ke arah kebangsaan tanpa pol itik
praktis dal am rangka mengimplementasikan substansi ketiga pilar di atas.
Tetapi para tokoh atau elite NU
sudah telanjur menikmati manfaat pragmatis dunia politik, yang kemudian
ternyata semakin menyulitkan operasionalisasi konsep kembali ke Khittah 1926.
Dalam konteks ini setidaknya terdapat tiga alasan utama sulitnya melepas dunia
politik.[15]
Pertama, kepemimpinan NU selama 32
tahun (1952–1984) berada langsung di bawah politisi, yakni KH Idham Chalid.
Budaya NU kemudian sangat kental dan berurat akar politik. Sehingga, kendati NU
sudah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926, realitasnya para elite politik
dan tokoh-tokoh internal NU yang menyimpan syahwat politik tak bisa menahan
dirinya lagi untuk tidak melampiaskan libido politiknya itu.
Kedua, adanya stok massa
yang tersedia bisa dikendalikan dan dimanfaatkan seperti yang diinginkan oleh
para elitenya. Maka tidak heran jika dari masa ke masa, dan terutama di era
reformasi sekarang ini, basis massa NU itu menjadi “ladang emas” yang
dieksploitasi dan didulang suaranya oleh para politisinya.
Ketiga, munculnya generasi baru NU yang
terpelajar dan melek politik. Kecenderungan ini memang baru terasa sekali di
era 1990-an hingga
sekarang, saat begitu banyak warga Nahdliyin berhasil memberikan pendidikan
yang baik bagi generasi penerus mereka, yang menimba ilmu baik di dalam maupun
di luar negeri. Mereka ini sangat menyadari potensi diri, serta melihat
kesempatan dan daya dukung massa yang memungkinkan untuk tampil dalam kancah politik
praktis.
Kondisi seperti itu barangkali memang
sulit dihindari, namun tidak perlu resah kalau kelak makna ke-NU-an semakin
lama semakin pudar. Sebab, semua sumber dayanya boleh jadi terserap ke dalam pusaran
politik praktis yang dimainkan oleh elite NU sendiri. Kalau dulu, setidaknya di era kepemimpinan Gus Dur yang
cukup mengesankan itu, faksi-faksi di NU masih didominasi oleh gerakan kultural,
aktivis kebangsaan dan intelektual, sementara faksi politik berada di
pinggiran, saat ini justru faksi politiklah yang menjadi kekuatan dominan.[16]
Mereka mendistribusikan diri dalam
jamaah NU. Namun, kalau jujur diakui, para politisi kita sekarang ini, termasuk
di dalamnya yang berbasis NU, sudah
mengalami disorientasi. Semuanya cenderung hanya berpikir untuk kepentingan
materi-duniawi, sangat tidak peduli dengan orientasi kebangsaan dan kerakyatan
sesuai jati diri NU.
Apalagi mereka umumnya sangat tidak
berkarakter dalam berpolitik, sementara perjuangan kebangsaan dan kerakyatan
baru bisa terwujudkan apabila politisinya berkarakter dan berorientasi kerakyatan. Jika NU
di usianya yang ke-82 tahun saat ini masih tidak melakukan introspeksi, bukan
mustahil organisasi massa Islam tradisional terbesar ini ke depan hanya akan
menjadi wadah simbolis berupa papan nama yang
kehilangan massa dan hakikatnya.[17]
E.
Penutup
Sebagai salah satu organisasi
keagamaan yang terbesar di Indonesia, NU bertujuan memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunah Waljama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah
kehidupan di dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KH. Hasyim
Asy’ari sebagai pendiri NU dan ulama terkemuka berpengaruh kuat pada sikap
beragama umat Islam Indonesia. Bahkan sampai saat ini pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
yang diformulasikan dalam organisasi NU menjadi acuan dalam beragama. Berbagai
lembaga pendidikan yang didirikan seperti pesantren
dan perguruan tinggi Islam merupakan tonggak sejarah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama NU, yang hingga kini masih
tetap eksis dan terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Agama dan Perubahan
Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1983).
Barton, Greg, Biografi Gus Dur:
The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS, 2002).
Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai:
Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang: Kalimasada Press, 1983).
Anggaran Dasar NU, (tanpa kota dan penerbit).
Ma’sum, Saifullah, Kehidupan
Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 19998).
Khuluq, Latiful, Hasyim Asy’ari:
Religious Thought and Polirical Activities (1871-1947), (Jakarta:
Logos).
Ismail, Faisal, Pijar-pijar Islam:
Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Departemen Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup
Umat Beragama, 1992).
Alfian, Alfan, “Memahami Polarisasi
Politik Ulama”, Kompas, 25 Agustus 1999.
Anam, Choirul, Pertumbuhan dan
perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985).
Van Bruinessen, Martin, NU: Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999).
Ecip, Sinansari, (ed.), NU,
Khittah dan Godaan Politik, (Bandung: Mizan, 1994).
Feillard, Andree, NU Vis a Vis
Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1999).
Sumber: Media Akademika, Vol.
26, No. 3, Juli 2011. https://uia.e-journal.id/akademika/
[1] Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan
Sosial, (Jakarta: Rajawali Press,1983), hal. 1.
[2] Greg Barton, Bi ografi Gus Dur: The Authori zed Bi
ography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS, 2002), hal. 15.
[3] Barton, Biografi Gus Dur, hal. 26.
[4] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai:
Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang:
Kalimasada Press, 1983), hal. 71.
[5] Arifin, Kepemimpinan Kyai, hal.
72.
[6] Anggaran Dasar NU Bab II Pasal 3
Tentang Azas dan Bab XII Pasal 24, hal.
46.
[7] Saifullah Ma’sum, Kehidupan Ringkas
26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan,19998), hal. 80.
[8] Latiful Khuluq, Hasyim Asy’ari:
Religious Thought and Polirical Activities (1871-1947), (Jakarta: Logos),
hal. 48.
[9] Ma’sum, Kehidupan
Ringkas, hal. 82.
[10] Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam:
Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Departemen Agama Proyek
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1992), hal. 76.
[11] Ismail, Pijar-pijar Islam, hal.
77.
[12] Alfan Alfian, “Memahami Polarisasi
Politik Ulama”, Kompas, 25 Agustus1999.
[13] Alfian, “Memahami Polarisasi”.
[14] Choirul Anam, Pertumbuhan dan
perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), hal. 34.
[15] Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999), hal.
27.
[16] Sinansari Ecip (ed.), NU, Khittah dan
Godaan Politik, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 21.
[17] Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hal. 21.