TUJUAN NU

BERLAKUNYA AJARAN ISLAM YANG MENGANUT FAHAM AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH UNTUK TERWUJUDNYA TATANAN MASYARAKAT YANG BERKEADILAN DEMI KEMASLAHATAN, KESEJAHTERAAN UMAT DAN DEMI TERCIPTANYA RAHMAT BAGI SEMESTA (PASAL 8 ANGGARAN DASAR NU)

PIMPINAN NU DARUNGAN MASA KHIDMAT 2023-2028

RAIS SYURIYAH: Ust. ABD. ROZAQ (PAKEMAN) dan KETUA TANFIDZIYAH: Ust. ABU HASAN TOYIB (LORKALI)

Sabtu, 02 Desember 2023

KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan Kontemporer (Artikel)

By. uia.e-journal.id

 

KH. HASYIM ASY’ARI DAN NAHDLATUL ULAMA:

PERKEMBANGAN AWAL DAN KONTEMPORER

 

Oleh:

H. Hartono Margono

 

Abstrak:

Artikel ini membahas tentang perkembangan awal dan kontemporer Nahdlatul Ulama (NU). Artikel ini berargumen bahwa salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia tersebut baik dalam masa awal berdirinya maupun kontemporer tidak bisa dipisahkan dari sosok sang pendiri, K.H. Hasyim Asy’ari. NU sendiri merupakan buah pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang Islam Indonesia. Pada akhirnya, pemikiran tentang Islam Indonesia tersebut banyak memengaruhi sikap keberagamaan Muslim Indonesia dan tetap relevan hingga sekarang.

 

Kata Kunci: K.H. Hasyim Asy’ari, NU, Islam Indonesia.

 

 

A.   Pendahuluan

Dalam sejarah Indonesia, sejak masa pra-Kemerdekaan hingga saat ini, posisi dan peranan ulama cukup penting terhadap proses perubahan social kemasyarakatan, karena ulama merupakan tokoh panutan bagi umat Islam yang merupakan agama terbesar di Indonesia.

Agama pada dasarnya bersifat independen, yang secara teoretis dan dogmatis saat mungkin terl ibat dal am kaitan saling mempengaruhi dengan kenyataan sosial, ekonomi dan politik. Sebagai unit yang independen, maka bagi penganutnya, agama mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk menentukan pola prilaku manusia dan bentuk struktur social, dengan demikian ajaran agama (aspek kultural dari agama) mempunyai potensi untuk mendorong atau bahkan menahan proses perubahan sosial dimana dalama agama Islam yang strategis untuk melakukan hal itu adalah ulama dan pendidikan (pesantren).[1]

Jika ditelusuri lebih jauh tentang peranan ulama dalam mewarnai proses perubahan sosial di Indonesia, maka akan tercatat beberapa tokoh penting dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari.

KH. Hasyim Asy’ari merupakan seorang ulama yang terkemuka dizamannya, karena dia adalah pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan ikut serta mendorong untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan, disisilain dia adalah tokoh penting dalam berdirinya Nahdlatul Ulama yang kelak dalam sejarah Indonesia akan menjadi ormas Islam terbesar dan memainkan peranan yang cukup signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia.[2]

Berangkat dari pemikiran yang demikian maka dalam makalah ini penulis akan menyajikan secara singkat tentang KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama perkembangan awal dan kontemporer, hal ini tentunya dimaksudkan untuk membedah pemikiran serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran modern dalam Islam khususnya di Indonesia.

 

B.   Biografi KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari atau nama lengkapnya Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947.[3]

Secara genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di Jombang.

Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim Asy’ari lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan pada usia 13 tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya.

Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan, Pesantrenn Tranggilis, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, Madura.

Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh AtTarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At-Tarmisi menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli hadits di Mekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi Al-Bantany yang menjadi murid Syekh Ahmad Khatib SyamBasi (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsabandiah).[4]

Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib AlMinangkabau. Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah.

Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di Indonesia.[5]

Adapun pemikiran KH. Hasyim Asy’ari di antaranya akan dipaparkan dalam sub-sub di bawah.

Bidang Pendidikan

Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan umat Islam kepada  zaman keeemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.[6] Namun hingga sekarang pesantren dan NU adalah pilar tegaknya Islam tradsional, serta menjadi basis gerakan NU sejak masa perjuangan melawan penjajah hingga zaman sekarang. Sampai saat ini lembaga pendidikan pesantren masih tetap eksis dan survive dengan segala kemajuan pembaharuan, seperti pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Institut Agama Islam Ibrahimy, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Institut Keislaman Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Darul Ulum, Akper, dll.

Paham keagamaan

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem bermazhab. Inilah pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum Muslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah wal jama’ah”. Pemikirannya tentang paham bermazhab ini tertuang dalam karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan pijakan dasar organisasi NU.

Menurut KH. Hasyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dalam sejarahnya, sebagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu, sering terjadi perselisihan pendapat.

Hal ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid). Namun karena pemikiran mereka tidak gampang dirumuskan secara sederhana, KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa untuk pemahaman keagamaan dan fiqih ditetapkan empat mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang menjadi ciri utama paham ahlusunnah dan NU.[7]

Bidang Teologi

KH. Hasyim Asy’ari dalam karyanya yang berjudul al-Risalah al-Tauhidiyyah dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan bahwa ada tiga tingkat apresiasi manusia tentang Tuhan. Pertama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepastian adalah bersumber dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang Tuhan atau Ma’rifat).[8]

 

Bidang Tarikat

Tarikat juga tidak luput dari perhatian KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Durar al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a ‘Asyarah yang berisi tentang bimbingan praktis agar umat Islam lebih berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan apa arti wali Allah yang selama ini dijadikan sandaran kaum tarikat.[9]

 

C.   KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama

Kelahiran Nahdlatul Ulama merupakan respons terhadap munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak di pengaruhi pemikiran atau faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh.

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional.

Puncak dari pertentangan muslim “modern” dan muslim “tradisional” ini terjadi ketika pemerintah Ibnu Saud dari kerajaan Saudi Arabia ingin mengadakan kongres tentang kekhalifahan di Mekah dalam usahanya untuk mendirikan kekhalifahan baru. Hal ini mendapatkan respons yang positif dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, sehingga diadakanlah kongres di Bandung yang dihadiri kelompok Islam modernis dan tradisional. Hasil dari kongres ini menunjuk Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah (keduanya kelompok modernis) untuk mengikuti kongres tentang kekhal ifahan di Mekah tersebut. Hal ini menimbulkan kekecewaan kelompok Islam tradisional karena tidak terwakili mengikuti kongres tersebut. Karena itu KH. Wahab Hasbullah (kelompok tradisional) mengusul kan agar utusan Indonesia meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Arabia agar tetap mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab, walaupun permintaan itu ditolak.[10]

Untuk memperjuangkan aspirasi ulama-ulama tradisional agar dapat bertemu dengan Raja Ibnu Su’ud, pada 31 Januari 1926 KH. Wahab Hasbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongres kekhalifahan di Arab Saudi, dalam pertemuan tersebut dihasilkan beberapa keputusan penting sebagai berikut:

1.    Mereka secara resmi membentuk komite Hijaz, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menghadapi Raja Ibnu Su’ud.

2.    Membentuk organisasi yang berfungsi sebagai wahana para ulama dalam membimbing ulama mencapai kejayaan, dan organisasi tersebut diberi nama “Nahdlatul Ulama”.[11]

Adapun peranan KH. Hasyim Asy’ari dalam pembentukan NU ini sangat penting, karena restu dan legitimasi yang dia berikan sangat berpengaruh terhadap pembentukan organisasi NU. Oleh karena itu dia ditunjuk sebagai rais akbar, sementara ketua tanfiziyah adalah H. Hasan Gipo. Dalam perkembangan selanjutnya, warna dan corak NU sangat dipengaruhi oleh KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini terlihat dari pidato iftitah yang disampaikannya kepada warga NU tentang faham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menganut satu dari empat mazhab yang dijadikan sebagai azas NU. Bahkan muqaddimah NU Qonun Asasy karangan beliau dijadikan sebagai satu kesatuan yang utuh dari Anggaran Dasar NU.

Banyak kalangan prihatin dengan semakin terseretnya kyai-kyai dalam pusaran arus politik praktis dewasa ini. Bahkan Mantan Menteri Agama M Maftuh Basyuni dalam beberapa kesempatan menyerukan agar kyai kembali ke pesantren sebagaimana militer kembali ke barak.

Meski demikian, banyak kalangan sepakat dengan gagasan tentang pentingnya kyai kembali ke pesantren. Bukan karena politik tidak penting, tetapi karena pengembangan pesantren justru akan lebih menentukan wajah masyarakat dan bangsa di masa depan.

Di sinilah menjadi penting kita belajar politik kepada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng Jombang. Kyai Hasyim adalah sosok kyai yang mampu membangun pesantrennya dan sekaligus tetap mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan politik kenegaraan.

Sampai saat ini, Kyai Hasyim diakui dan dikenang sebagai ulama besar karena investasi politiknya untuk bangsa, integritas, serta warisan keilmuan dan kelembagaan yang abadi. KH Hasyim adalah seorang ulama karismatik yang dihormati masyarakat dan disegani penguasa. Rasa hormat diberikan karena Kyai Hasyim adalah seorang kyai yang luas dan dalam pengetahuan agamanya.

Ia seorang ulama dengan pendirian yang tegas dan mengabdikan hidupnya untuk suatu proses transformasi masyarakat secara menyeluruh. Ia juga diakui sebagai ulama besar karena keberhasilannya mendidik santri-santri menjadi tokoh besar di kemudian hari. Seperti ditulis Greg Fealy, menteri-menteri dari unsur NU di masa Presiden Soekarno dan anggota parlemen dari Partai NU sebagian besar adalah santri Kyai Hasyim di Tebuireng.

Lebih dari itu, kebesaran Kyai Hasyim bukan hanya karena ia seorang ulama yang teguh, tetapi juga seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah mendidik santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Kyai Hasyim bukan hanya melawan kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural.

Karena itu, ia sempat mengharamkan santri dan masyarakat memakai pakaian yang menjadi kebiasaan kaum penjajah seperti dasi dan celana. Seperti ditulis Abdurrahman Wahid dalam Bunga Rampai Pesantren, pada masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial, kyai dan pesantren secara kultural berfungsi sebagai benteng pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar.

Fungsi yang demikian menghendaki adanya proses “pemurnian” agama dalam batas-batas tertentu, dimulai dari penonjolan aspek syara (formalisme hukum agama) di pesantren. Patriotisme dan nasionalisme Kyai Hasyim juga ditunjukkan ketika ia bersama sejumlah kyai memelopori Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.

Resolusi itu berisi seruan kepada umat Islam untuk membangkitkan perang suci (jihad) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dengan mengusir tentara Sekutu dan Belanda di belakangnya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih.

Dengan demikian, Kyai Hasyim telah memberi status kepada NKRI sebagai negara yang sah di mata hukum agama (fikih). Di samping seorang nasionalis, Kyai Hasyim juga bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH. A. Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim hanya menjadi kepala secara dejure.

Demikian juga jabatan sebagai Ketua Masyumi. Semua urusan politik praktis didelegasikan kepada putranya, sementara Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia tidak pernah meninggalkan-apalagi melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.

Kyai Hasyim tidak pernah melarang kyai dan santri-santrinya berpolitik. Ia sendiri memberi contoh bagaimana berpolitik. Namun politik Kyai Hasyim adalah politik makrostrategis. Ia benar-benar melibatkan dirinya dalam urusan politik jika ada situasi darurat yang mengancam kedaulatan bangsa dan kemerdekaan umat untuk menjalankan ajaran agamanya.

Dengan demikian, Kyai Hasyim melibatkan diri dalam urusan politik untuk jangka waktu tertentu, sementara urusan politik praktis diserahkan kepada orang lain yang pas di bidang itu. Ibarat seorang resi yang hanya turun dari padepokan di atas gunung ketika situasi masyarakat sedang kacau dan membutuhkannya. Kalau situasi sudah normal, sang resi akan kembali berkhalwat di padepokannya.

Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat.

Keberanian untuk menjaga jarak dengan politik praktis menjadikannya tidak pernah kehilangan wawasan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan mencarikan alternatif solusi yang lebih diterima masyarakatnya. Benar yang dikatakan KH A Wahab Chasbullah, seperti dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds.), Political Power and Communications in Indonesia, bahwa Islam dan politik seperti gula dan manisnya.

Jika seseorang bisa memisahkan gula dari manisnya, dia akan mampu memisahkan Islam dari politik (if someone is able to separate sugar from its sweetness,he will be able to separate Islamic religion from politics). Namun Kyai Hasyim telah mencontohkan bagaimana cara berpolitik kyai yang efektif tanpa mengorbankan tugas utamanya sebagai pemimpin umat.

Dengan demikian, dibutuhkan kearifan dan kedalaman wawasan sehingga seorang kyai tahu kapan harus terlibat dalam urusan politik strategis dan kapan harus menarik diri atau menjaga jarak dengan dunia politik.

Itulah KH. Hasyim Asy’ari. Seorang kyai besar yang konsisten dan fokus membangun landasan yang kokoh bagi transformasi masyarakat dan bangsa secara luas. Suatu sikap yang mungkin sulit untuk diikuti secara konsisten saat ini, kecuali bagi mereka yang ikhlas dan sungguh-sungguh.

 

D.   NU dari Awal Perkembangan hingga Kontemporer

 

Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.

Organisasi Muhammadiyah—didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan—yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU.

Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.[12]

Di balik sikap reaktif itu, sebenarnya para ulama Sunni Indonesia memiliki misi mempertahankan budaya pluralisme kebangsaan yang membumi. Pertama, pada tingkat lokal, para ulama NU tidak ingin membenturkan ajaran Islam dengan kebiasaan beragama masyarakat setempat. Tepatnya, para ulama NU berupaya selalu mengharmoniskan hubungan antara pengamalan agama dan praktik budaya lokal. Kedua, secara universal, para ulama NU berupaya memperkenalkan dan menghendaki penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan yang eksis di dal am masyarakat dunia, dengan menunjukkan toleransi dan pembelaannya terhadap upaya atau keinginan untuk menghilangkan kebiasaan. Terlebih hal itu, oleh pihak NU, secara prinsip ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalaupun dianggap bertentangan, maka merupakan konsekuensi dari keberagamaan yang memang sudah ada, yakni masing-masing tentu saja memiliki pembenaran atau argument teologis.[13]

Dalam kerangka seperti itulah NU berdiri dan eksis sebagai pengayom kepentingan semua kekuatan dengan gerakan yang berorientasi kerakyatan. Infrastrukturnya sejak awal dibangun di atas tiga pilar utama, semangat kebangsaan (nahdlatul wathan), semangat atau kebangkitan ekonomi (nahdl atul  tujjar),  dan gerakan pengembangan pemikiran (taswirul afkar)—Islam berbasis kultural di Indonesia.

Dalam perjalanannya, karena watak reaktif itu pula NU kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riil yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar kuat.[14]

Barangkali juga ada anggapan, “daripada basis massa dimanfaatkan oleh pihak lain, lebih baik untuk kepentingan politik dan ekonomi kalangan internal NU sendiri”. Makanya, tidak heran kalau perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri.

Pada rentang 1945–1952 NU tergabung dalam Partai Masyumi. Melalui muktamar di Palembang pada 1952, NU mendirikan parpol sendiri, yakni Partai NU dan ikut Pemilu 1955. Pada 1971, oleh pemerintah Orde Baru Partai NU dengan paksa digabung (fusi) di dalam PPP,hingga kemudian menyatakan diri lepas dari politik praktis melalui Muktamar NU di Situbondo 1984. Mulai saat itulah NU di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan kembali ke Khittah 1926, yang pada dasarnya mereposisi NU ke arah kebangsaan tanpa pol itik praktis dal am rangka mengimplementasikan substansi ketiga pilar di atas.

Tetapi para tokoh atau elite NU sudah telanjur menikmati manfaat pragmatis dunia politik, yang kemudian ternyata semakin menyulitkan operasionalisasi konsep kembali ke Khittah 1926. Dalam konteks ini setidaknya terdapat tiga alasan utama sulitnya melepas dunia politik.[15]

Pertama, kepemimpinan NU selama 32 tahun (1952–1984) berada langsung di bawah politisi, yakni KH Idham Chalid. Budaya NU kemudian sangat kental dan berurat akar politik. Sehingga, kendati NU sudah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926, realitasnya para elite politik dan tokoh-tokoh internal NU yang menyimpan syahwat politik tak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak melampiaskan libido politiknya itu.

Kedua, adanya stok massa yang tersedia bisa dikendalikan dan dimanfaatkan seperti yang diinginkan oleh para elitenya. Maka tidak heran jika dari masa ke masa, dan terutama di era reformasi sekarang ini, basis massa NU itu menjadi “ladang emas” yang dieksploitasi dan didulang suaranya oleh para politisinya.

Ketiga, munculnya generasi baru NU yang terpelajar dan melek politik. Kecenderungan ini memang baru terasa sekali di era 1990-an hingga sekarang, saat begitu banyak warga Nahdliyin berhasil memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus mereka, yang menimba ilmu baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka ini sangat menyadari potensi diri, serta melihat kesempatan dan daya dukung massa yang memungkinkan untuk tampil dalam kancah politik praktis.

Kondisi seperti itu barangkali memang sulit dihindari, namun tidak perlu resah kalau kelak makna ke-NU-an semakin lama semakin pudar. Sebab, semua sumber dayanya boleh jadi terserap ke dalam pusaran politik praktis yang dimainkan oleh elite NU sendiri. Kalau dulu,  setidaknya di era kepemimpinan Gus Dur yang cukup mengesankan itu, faksi-faksi di NU masih didominasi oleh gerakan kultural, aktivis kebangsaan dan intelektual, sementara faksi politik berada di pinggiran, saat ini justru faksi politiklah yang menjadi kekuatan dominan.[16]

Mereka mendistribusikan diri dalam jamaah NU. Namun, kalau jujur diakui, para politisi kita sekarang ini, termasuk di dalamnya yang berbasis NU,  sudah mengalami disorientasi. Semuanya cenderung hanya berpikir untuk kepentingan materi-duniawi, sangat tidak peduli dengan orientasi kebangsaan dan kerakyatan sesuai jati diri NU.

Apalagi mereka umumnya sangat tidak berkarakter dalam berpolitik, sementara perjuangan kebangsaan dan kerakyatan baru bisa terwujudkan apabila politisinya berkarakter dan berorientasi kerakyatan. Jika NU di usianya yang ke-82 tahun saat ini masih tidak melakukan introspeksi, bukan mustahil organisasi massa Islam tradisional terbesar ini ke depan hanya akan menjadi wadah simbolis berupa papan nama yang kehilangan massa dan hakikatnya.[17]

 

E.   Penutup

Sebagai salah satu organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia, NU bertujuan memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunah Waljama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dan ulama terkemuka berpengaruh kuat pada sikap beragama umat Islam Indonesia. Bahkan sampai saat ini pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang diformulasikan dalam organisasi NU menjadi acuan dalam beragama. Berbagai lembaga pendidikan yang didirikan seperti pesantren dan perguruan tinggi Islam merupakan tonggak sejarah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama NU, yang hingga kini masih tetap eksis dan terus berkembang.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Taufik, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1983).

Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS, 2002).

Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang: Kalimasada Press, 1983).

Anggaran Dasar NU, (tanpa kota dan penerbit).

Ma’sum, Saifullah, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 19998).

Khuluq, Latiful, Hasyim Asy’ari: Religious Thought and Polirical Activities (1871-1947), (Jakarta: Logos).

Ismail, Faisal, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Departemen Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1992).

Alfian, Alfan, “Memahami Polarisasi Politik Ulama”, Kompas, 25 Agustus 1999.

Anam, Choirul, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985).

Van Bruinessen, Martin, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999).

Ecip, Sinansari, (ed.), NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung: Mizan, 1994).

Feillard, Andree, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1999).

 

 

Sumber: Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011. https://uia.e-journal.id/akademika/

 

Catatan Kesekretariatan: Sesuai Aslinya (untuk referensi bacaan)

 



[1] Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Press,1983), hal. 1.

[2] Greg Barton, Bi ografi Gus Dur: The Authori zed Bi ography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS, 2002), hal. 15.

[3] Barton, Biografi Gus Dur, hal. 26.

[4] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang: Kalimasada Press, 1983), hal. 71.

[5] Arifin, Kepemimpinan Kyai, hal. 72.

[6] Anggaran Dasar NU Bab II Pasal 3 Tentang Azas dan Bab XII Pasal 24, hal. 46.

 

[7] Saifullah Ma’sum, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan,19998), hal. 80.

[8] Latiful Khuluq, Hasyim Asy’ari: Religious Thought and Polirical Activities (1871-1947), (Jakarta: Logos), hal. 48.

[9] Ma’sum, Kehidupan Ringkas, hal. 82.

[10] Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Departemen Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1992), hal. 76.

[11] Ismail, Pijar-pijar Islam, hal. 77.

[12] Alfan Alfian, “Memahami Polarisasi Politik Ulama”, Kompas, 25 Agustus1999.

[13] Alfian, “Memahami Polarisasi”.

[14] Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), hal. 34.

[15] Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999), hal. 27.

[16] Sinansari Ecip (ed.), NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 21.

[17] Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hal. 21.