4⃣ K.H. Ali Ma’shum (Rais' Aam Syuriyah 1980 sd 1984)
๐
KH. Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH. Ma’shum bin KH
Ahmad Abdul Karim dengan Nyai. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang
lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang.
๐
Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari zaman kakek-kakeknya dahulu hingga sekarang
adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari
nilai-nilai kepesantrenan. Ayahnya KH. Ali Maksum yang terkenal dengan
panggilan Mbah Ma’shum ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh Pondok
Pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem, Rembang.
๐
Sejak kecil, Kiai Ali tumbuh dalam lingkungan tradisi pesantren dan ketokohan
NU di Lasem. Pada masa dewasanya, Kiai Ali berguru pada ulama besar seperti KH
Amir (Pekalongan) dan KH Dimyathi (Tremas). Di Tremas, Kiai Ali mempelopori
sistem pendidikan pesantren modern yaitu sistem madrasah.
๐
Setelah
pernikahannya dengan Nyai Hj Hasyimah binti KHM Munawwir (Krapyak), ia pergi ke
Mekkah pada tahun 1937 untuk menunaikan ibadah haji dan berguru dengan Sayyid
Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani dan Syaikh Umar Hamdan.
๐
Pada
tahun 1941, Kiai Ali kembali ke Indonesia untuk mengembangkan ilmu agamanya
dengan spesialisasi yaitu bidang tafsir. Beliau juga turut membantu
mengembangkan pesantren Soditan milik ayahnya di Lasem, sebelum akhirnya
membaktikan hidupnya sampai wafatnya dalam mengembangkan Pesantren Krapyak
pasca wafatnya KHM Munawwir pada tahun 1942.
๐
Semenjak bermukim di Yogyakarta, Kiai Ali membangun akar organisasi NU dari
tingkat bawah dengan memberikan ruang kepada para pemuda untuk menjadi kader
utama NU di wilayah Yogyakarta. Ia menggalang kekuatan NU dari berbagai
kalangan seperti mahasiswa, pengusaha, ulama, santri maupun tokoh pemuda.
๐
Pada
tahun 1955, Kiai Ali terpilih menjadi anggota konstituante melalui konferensi
Alim Ulama NU di Watu Congol, Magelang pada tanggal 17-18 Agustus 1955
๐
Selain
mengembangkan pendidikan pesantren yang modern di Krapyak sebagai tugas
utamanya, Kiai Ali juga menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga sejak tahun
1960-an serta menjadi anggota Tim Penterjemah Al-Qur’an sejak tahun 1962.
๐
Dalam pengabdiannya di NU, peran Kiai Ali hadir di masa NU sedang mengalami
masa sulit, khususnya semenjak NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952 dan
restrukturisasi parpol pada masa awal orde baru tahun 1973. Pada situasi
tersebut, Kiai Ali berperan penting dalam menjaga keharmonisan dan
mengkonstruksi “jalan damai” untuk menjaga persatuan NU. Oleh karena peran
tersebut, maka Kiai Ali kemudian dipilih menjadi Rais Syuriyah PWNU DIY sejak
tahun 1975 sampai tahun 1981. Beban berat Kiai Ali semakin bertambah ketika
dirinya dipilih menjadi Rais ‘Am PBNU pada Munas Alim-Ulama NU di Kaliurang
pada tahun 1981.
๐Jabatan
tersebut dipikulnya untuk menggantikan kedudukan KH Bisri Syansuri yang telah
wafat.
๐
Sebagai sesepuh NU, Kiai Ali bekerja keras sebagai ujung tombak dalam
mempersatukan NU yang terpecah menjadi beberapa kubu yang disebabkan oleh
dinamika politik nasional pada masa tersebut. Kiai Ali dengan beberapa tokoh
ulama sepuh NU lainnya, seperti KHR As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH Makrus
Ali (Lirboyo) dan lain-lainnya berhasil mencetuskan serta mendukung arah
pergerakan NU “Kembali pada Khittah 1926” sebagai usaha “penyelamatan” NU dari
kepentingan politik praktis.
๐
Munculnya
kesepakatan menjalankan “Khittah NU 1926” pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo
pada tahun 1984 dapat dikatakan sebagai puncak keberhasilan Kiai Ali dalam
perjuangannya untuk NU.
๐
Kiai
Ali kemudian menjadi tokoh NU yang gigih mengawal jalannya Khittah NU 1926
sampai akhir hayatnya
๐
Beliau wafat pada Kamis 7 Desember
1989
Sumber:
https://www.nu.or.id/post/read/85597/janji-terakhir-kh-ali-maksum-untuk-nu